Pages

Kamis, 26 November 2009

wahai impianku ... sampaikanlah pada dunia bahwa aku ada !

sebenernya aku punya novel ini tuh udah lama banget . 5 bulan yang lalu aku beli . berhubung belum lama ini ada tugas bikin resensi novel , yaudah skalian aja aku posting di blog hhe :D


Judul            : 9 Matahari
Pengarang    : Adenita
Penerbit       : Gramedia Widiarsana Indonesia (grasindo)
Tebal buku   : 376 halaman
Ukuran buku: 13,9 cm × 19,9 cm
Harga           : Rp 55.000,00 (harga waktu bulan juni, gatau sekarang berapa)

Kesempatan untuk melanjutkan pada pendidikan yang lebih tinggi, kuliah, pasti dinantikan oleh setiap orang. Namun tidak semua orang bisa mendapatkannya. Bagi sebagian orang kuliah masih dianggap sebagai barang yang mewah. Karenanya semangat belajar yang tak mampu lagi dibendung, menuntut untuk berpikir kreatif dalam keadaaan yang sempit. Apalagi biaya masuk kuliah merupakan biaya yang menguras kantong. Inilah yang disampaikan oleh Adenita dalam novel pertamanya, 9 Matahari.
Matari Anas atau Tari, gadis muda dari keluarga kurang mampu, yang mempunyai impian dan tekad yang kuat untuk kuliah di Bandung dan menjadi sarjana. Karena tekadnya yang kuat, Matari harus berjuang keras membiayai kuliahnya sendiri. Ayah Tari, seorang mekanik pabrik kertas tidak mampu membiayai kuliahnya. Oleh karena itu, dengan dibantu Kak Hera, Matari mulai mencari pinjaman uang yang jumlahnya tidak sedikit.
Sebelumnya, Tante Geni, adik ibu yang pada saat itu “paling berkecukupan” menawarkan diri untuk membiayai kuliah Tari. Dimasukkannya Tari ke salah satu universitas swasta, yaitu Universitas Pasanggiri jurusan ekonomi agar bisa cepat kerja. Namun, pada akhir semester pertama, Tari baru menyadari bahwa itu bukan merupakan keinginannya. Tari pun sakit-sakitan. Ternyata, uang yang selama ini digunakan untuk membiayai kuliah Tari berasal dari pria selingkuhannya. Maka, Tari pun memutuskan untuk tidak menerima bantuan dari Tante Geni lagi dan berhenti kuliah. Sejak itulah Tari bekerja keras mencari biaya kuliahnya sendiri.
Setelah keluar dari Universitas Pasanggiri, Tari kembali daftar kuliah di Universitas Panaitan Fakultas Ilmu Komunikasi. Mencari biaya kuliahnya sendiri, Tari harus mencari pekerjaan. Mula-mula ia bekerja sebagai pelayan di salah satu restoran fastfood ternama. Namun, karena restoran tersebut tidak menerima karyawan untuk separuh hari, Tari pun ditolak. Tidak berhenti sampai disitu, Tari kembali mencari pekerjaan dan diterima sebagai resepsionis. Belum lama menjadi resepsionis, Tari keluar karena diterima di universitas keinginannya , Universitas Panaitan.
Setelah diterima disana, Tari mulai menghitung biaya hidupnya di Bandung. Karena tuntutan itu, Tari bekerja menjadi penyiar radio. Masuk semester empat dan lima, Tari mulai terseok-seok membiayai kuliahnya, ia pun meminjam dari teman-temannya. Ia mulai bingung bagaimana cara untuk mengembalikan utangnya yang berjumlah tidak sedikit tentunya. Tidak lama setelah itu, ia jatuh sakit.
Sejak terlilit utang sekolah dan biaya hidup, Tari sering sakit hingga lama tidak masuk kuliah. Di tengah kejatuhannya tersebut, begitu banyak yang peduli terhadap Tari. Banyak motivator yang selalu membangun kembali niat Tari yang semula. Bahkan ada yang menganggapnya bagian dari keluarga mereka. Hingga akhirnya Tari kembali bangun dan dapat mencapai cita-citanya, menjadi sarjana.
Sekilas, cerita dalam novel ini hampir mirip dengan novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Ia juga mengisahkan tokoh utamanya sebagai orang yang haus akan pendidikan. Seperti halnya Laskar Pelangi, 9 Matahari juga mencoba menginspirasi banyak orang untuk menyadari akan pentingnya pendidikan.
9 matahari memberikan semangat dan inspirasi bagi para pembacanya. Disajikan dengan kata-kata yang begitu indah seakan saya benar-benar merasakannya. Selain itu, terkandung banyak hikmah di dalamnya. Salah satunya adalah proses manusia menuju kesempurnaannya yang dilambangkan dengan angka 9.
Namun sangat disayangkan, penyelesaian cerita dari novel ini kurang tuntas. Di akhir cerita, Matari memang berhasil lulus kuliah dan menjadi seorang sarjana, tetapi tidak diceritakan bagaimana cara Matari mengembalikan utang-utang biaya hidup dan kuliahnya selama di Bandung yang jumlahnya tidak sedikit.
Terlepas dari kekurangan tersebut, 9 Matahari telah banyak menginspirasi dan memberi semangat kepada para pembacanya untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya. Semoga di novel selanjutnya, Adenita dapat lebih menginspirasi pembacanya.
“Impianku .. oh aku sudah memberikannya byawa. Aku menghidupkannya dalam hari-hariku. Ketika membuka mataku saat mengawali hari, aku menyapanya. Seperti aku menyapa matahari. Ketika beraktivitas, aku biarkan dia menyelusup ke dalam hatiku, mengintip perasaanku, dan membiarkannya berteriak bahwa ia menungguku. Aku meletakkannya dalam takhta tertinggi di pikiranku. Mengalirkan lewat darahku. Membiarkan semua partikel dalam tubuhku merasakan sensasinya. Aku biarkan tanganku meraba sebentar seperti apa wujudnya. Merasakan setiap detail keindahannya. Aku biarkan hasratku semakin berkembang pesat.
Tumbuh … tumbuh menjulang tinggi …
Menyentuh langit, mendekati matahari …
Impianku seperti pohon yang menjulang tinggi. Puncaknya menembus awan. Tapi, akarnya menancap tanah. Aku membiarkan impianku itu tertanam jauh dalam hatiku. Ragaku ada di bumi, tapi kubiarkan jiwaku melesat, bersamanya jauh… kuikuti ke mana pun ia bermain…
Terbang… terbanglah melayang tinggi …
Seperti layang-layang yang diulur dan menari di atas sana.
Kubiarkan dirimu meliuk dilihat semua mata ... sampaikan bahwa aku ada!” (hlm. 39-40).


naah gimana ? bagus kan cerita novelnya . menginspirasi banget lah ! ten thumbs up for 9 matahari *6 lagi pinjem* wkakakakak :))
oiaa . buat yang belom beli, buruan beli dan baca atau kalian semua akan menyesal seumur hidup*lebaayy*

3 komentar:

Unknown mengatakan...

duh, mentang2 lagi musim resensi, postingannya, sampe tentang resensi buku ...
ckckck
jhahahahaha

L mengatakan...

mwehehehe buat menuh menuhin posting aja . biar ga trlalu kosong wkakakak

Unknown mengatakan...

hhaha ....
bener juga ketang ...
hhhe